Sedulur – Merkuri atau air raksa sangat disukai penambang tradisional karena bisa menangkap serbuk emas dalam lumpur atau tanah yang mereka olah. Artinya, dengan upaya yang relatif mudah, uang besar bakal berada dalam genggaman. Hanya saja, ada bahaya besar yang mengintai dengan pemakaian dan pembuangan limbah merkuri ini.
Pasangan Tatan dan Suriyati di Mandailing Natal, Sumatra Utara, mendapatkan kesedihan tak terperi akhir 2018 tahun lalu ketika bayi perempuan mereka yang lahir dengan operasi Caesar ternyata hanya memiliki satu mata, mulut, dan tidak mempunyai hidung. Organ yang lain lengkap, tapi bayi itu juga sangat lemah denyut jantungnya. Dokter memperkirakan usia bayi paling lama tiga hari, dan terbukti bayi yang malang itu hanya bertahan delapan jam. Dokter tak menampik bahwa fakta pekerjaan Tatan, sang ayah, sebagai penambang emas yang membuatnya terpapar merkuri bisa berpengaruh terhadap kesehatan janin.
Dunia sebetulnya sudah mendapat pelajaran mahal mengenai bahaya merkuri setelah meledaknya Tragedi Minamata di Jepang pada 1958. Minamata adalah kota kecil yang menghadap laut di Prefektur Kumamoto. Seperti lazimnya orang Jepang, warga Minamata sangat gemar makan ikan. Tapi, makanan yang semestinya menyehatkan itu justru menjadi petaka karena ikan-ikan di sana sudah teracuni limbah merkuri, logam berat yang sangat berbahaya untuk dikonsumsi.
Tanda-tanda buruk bagi warga Minamata sudah terlihat pada 1949 ketika produksi ikan menurun. Lalu, pada tahun-tahun berikutnya, berulangkali ditemui kasus kejang-kejang, kelumpuhan, kegilaan, yang diakhiri dengan kematian. Tak kurang pula bayi yang terlahir dengan cacat fisik seperti tak punya kaki dan tangan atau hanya bermata satu. Total korban mencapai 2.265 orang, dengan 1.784 meninggal dunia. Korban dan keluarga mereka akhirnya mendapatkan ganti rugi.