Sabtu, 27 Jul 2024
MENU
Waisak 2024

"Mesin" Pengurai Sampah Organik Buatan Pemuda Pesanggaran

Sumbermulyo - Sisa makanan, sayuran, dan buah-buahan dapat menjadi permasalahan yang mengganggu kehidupan manusia. Sampah organik ini bukan saja dapat menimbulkan bau tidak sedap, tapi juga berpotensi menjadi sumber penyakit karena sampah merupakan tempat yang sangat disukai oleh bakteri jahat penyebab penyakit.

Sudah banyak cara yang ditemukan umat manusia untuk mengurangi permasalahan bau sampah dan potensi penyakitnya ini. Salah satunya seperti yang dibuat oleh mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bernama Ramambu.

Ramambu dibuat dari bahan-bahan semi organik untuk menghilangkan bau pada sampah, seperti eter sulfat, tripolyphosphate, Na2CO3 dan beberapa bahan lainnya. Secara bahasa, Ramambu berasal dari bahasa Jawa, yaitu ora yang berarti tidak dan mambu yang berarti bau tak sedap.  

Tidak mau kalah dengan para mahasiswa UI di atas, para pemuda di Pesanggaran, Banyuwangi yang tergabung dalam Kelompok PEGA Indonesia juga menemukan cara untuk mengurai sampah organik. Dengan memanfaatkan lalat hitam atau Black Soldier Fly (BSF), mereka membuat "mesin hidup" pengurai sampah organik di Dusun Mulyoasri, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran.


Baca Lainnya :

Pre-pupa BSF

“Kami menyebutnya mesin pengurai sampah organik. Ini sudah berjalan sejak Juli (2019) yang lalu,” kata Ketua Kelompok PEGA Indonesia, Sundariyanto, saat ditemui Sedulur di tempat penangkaran BSF (3/1) di Desa Sumbermulyo.

Sambil menjelaskan bagaimana mesinnya beroperasi, Sundariyanto menunjuk ke sebuah kotak berukuran 4 m3 berdinding jaring kawat, di dalamnya terdapat ribuan BSF. Dia pun mendekati kotak tersebut, sehingga lalat-lalat yang menempel di hampir semua bagian kotak beterbangan.  

Mesin utama pengurai sampah ciptaan PEGA berasal dari BSF dalam kotak tersebut. Implementasinya, sampah organik yang telah dikumpulkan diberikan kepada maggot yang merupakan anak BSF.“Maggot ini ya anaknya lalat (BSF) itu,” kata Sundariyanto.

Alurnya, BSF bertelur. Dalam waktu 3-4 hari, telur menetas dan berubah menjadi maggot (larva). Di atas 20 hari, maggot mulai berubah menjadi pupa dan akhirnya menjadi lalat. Proses perubahan dari pupa menjadi lalat bisa mencapai 30 hari.

Sebelum diberikan kepada maggot, sampah yang terkumpul difermentasi terlebih dahulu. Tujuannya, agar jenis sampah kategori keras bisa terurai dengan mudah. Namun, Sundariyanto mengingatkan agar tidak memberi makan maggot dengan makanan masam.

Maggot bisa mati kalau makan makanan masam, seperti jeruk,” terangnya.

Memanfaatkan maggot sebagai mesin pengurai sampah ternyata sangat efektif.Kemampuannya mengurai sampah sangat cepat untuk ukuran organisme berukuran mini. Menurut Sundariyanto, setiap kilogram maggot dapat menghabiskan sampah organik hingga 5 kilogram sampah per dua jam. Keunggulan lainnya, mengurai sampah dengan maggot dapat mengurangi bau.

"Mereka (maggot) ini sangat cepat dalam mengurai sampah organik. Bahkan seekor ayam bisa habis dalam waktu setengah jam," jelas Sundariyanto.

Pelet dari maggot

Sundariyanto mencatat sampah organik yang telah diurai oleh "mesinnya" hingga saat ini mencapai 14 ton. Sampah sebanyak itu dia peroleh dari PT Bumi Suksesindo (BSI). "Itu hanya sampah yang kami dapat dari BSI, tidak termasuk sampah yang kami dapat dari warga dan pasar," imbuhnya.

Dengan memanfaatkan maggot untuk mengurai sampah organik, Kelompok PEGA Indonesia juga memperoleh keuntungan ekonomi dengan cara menjual maggot kepada masyarakat. Maggot merupakan makanan ternak yang sedang hits karena kandungan gizinya yang tinggi. Sementara harga pasaran maggot saat ini mencapai Rp 60 ribu per kilogram. (mam)