Sedulur, Pesanggaran - Perusahaan tambang di Pesanggaran, Banyuwangi PT Bumi Suksesindo (BSI) memiliki program pemberdayaan dalam bentuk ternak kambing yang masif untuk masyarakat sekitar perusahaan. Program ternak kambing menjadi salah satu cara PT BSI dalam pengembangan program pemberdayaan yang komprehensif. Anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk ini melaksanakan program tersebut dengan memberikan banyak bantuan kambing kepada kelompok masyarakat (Pokmas) ring satu Kecamatan Pesanggaran. Masyarakat petani Pesanggaran telah terbiasa memelihara dan membudidayakan kambing selain bertani buah naga. “Ketika keduanya dikolaborasikan, menjadi program yang baik,” kata Hari Setio Budi, petugas Community Relations PT BSI. Mulanya, 80 ekor kambing dibagikan ke empat pokmas yang memiliki anggota minimal sepuluh orang dan setiap kelompok mendapatkan 20 ekor kambing. “Semangatnya dari program ini ialah memanfaatkan potensi lokal,” kata Hari. Bantuan kambing yang diberikan, menurut Hari, adalah untuk dibudidayakan dan menjadi program bergulir ke kelompok-kelompok lain. Dalam pelaksanaannya, setiap anggota memperoleh dua ekor indukan. Setelah beranak-pinak kemudian digulirkan ke anggota yang belum mendapatkan. Salah satu kelompok penerima program adalah Pokmas Rawa Jaya Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. Ketua Rawa Jaya Sujiono mengatakan jumlah kambing di kelompoknya telah berkembang pesat hingga menjadi 670 ekor yang dimiliki oleh 34 anggotanya. Sujiono meyakinkan bahwa program ternak kambing bergulir ini sangat membantu masyarakat karena mereka yang sebelumya tidak bisa memelihara kambing, setelah membentuk kelompok, bisa menerima manfaat dan mempunyai usaha tambahan untuk menunjang kebutuhannya sehari-hari. "Dan kurang lebih 800 ekor kambing yang telah dijual," katanya. Selain itu, kotoran kambing masih dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos/organik untuk memelihara tanaman pertanian, seperti buah naga. Tanaman buah naga kebanyakan menggunakan penyangga (tiang) dari pohon randu sehingga daun dari pohon tersebut dapat dimanfaatkan juga sebagai pakan ternak. Kelompok Rawa Jaya mulai membuat pupuk kompos/organik pada tahun 2023 dan mereka menyebutnya sebagai bentuk hilirisasi program untuk menyikapi kelangkaan pembatasan program pupuk bersubsidi dari pemerintah. Untuk keberlangsungan produksi, terangnya, seluruh anggota pokmas diwajibkan mengumpulkan kotoran ternak yang mereka pelihara lalu diolah menjadi pupuk organik menggunakan alat modern bantuan dari PT Bumi Suksesindo berupa mesin penghancur kotoran ternak untuk kemudian difermentasi. Sebelumnya, pemanfaatan kotoran cukup dibawa ke kebun untuk memupuk tanaman. Cara ini dinilai memakan waktu untuk secara alami berubah menjadi kompos yang bisa menyuburkan tanah dan merangsang pertumbuhan tanaman. Sejak November hingga Desember 2023, kelompok Rawa Jaya telah memproduksi pupuk organik sekitar 10 ton. Sebagian dipergunakan oleh kelompok sendiri dan sebagian disalurkan kepada petani yang membutuhkan. Dengan adanya produksi pupuk organik ini, para petani mengaku sangat terbantu saat terjadi kelangkaan pupuk NPK, urea, dan Phonska bersubsidi. Pupuk kompos berbeda dengan pupuk kimia. Manfaatnya bagi tanaman, pupuk kimia lebih cepat merangsang pertumbuhan, namun kualitas buah yang dihasilkan tidak cukup bagus jika dibandingkan dengan tanaman yang menggunakan pupuk kompos/organik. Sujiono mencontohkan, jika sebelumnya tanaman buah naga berwarna kuning, apabila diberi pupuk kimia antara 3-4 hari akan berubah menjadi hijau dan ini sangat berbeda jika yang diberikan adalah pupuk organik. "Namun, kualitas buah yang dihasilkan lebih bagus yang menggunakan pupuk organik," kata Sujiono. Tanaman buah naga yang menggunakan pupuk organik, menurutnya, saat panen bisa menghasilkan 8-9 ton buah. Sedangkan tanaman yang menggunakan pupuk kimia ada di kisaran 6-7 ton saja. "Dari sisi mutu buahnya, tanaman yang menggunakan pupuk organik, buahnya lebih berat dan warnanya lebih bagus,” katanya. Untuk masa panen, baik tanaman dengan pupuk organik maupun pupuk kimia tidaklah berbeda, sekitar 5-6 bulan setelah masa tanam. Penggunaan pupuk organik juga dinilai lebih menghemat biaya produksi. “Biaya penggunaan pupuk kimia per hektare minimal Rp2 juta. Kalau pakai organik cukup Rp1 juta,” kata Sujiono lagi. Ia menambahkan, harga pupuk kimia yang tinggi disebabkan terbatasnya subsidi membuat margin keuntungan yang diperoleh para petani semakin tipis sehingga petani memilih alternatif penggunaan pupuk kompos (organik). Dalam upayanya menjaga program agar dapat berkelanjutan dan terus berkembang, PT BSI rutin melakukan pertemuan dengan kelompok guna memberi pendampingan. “Kami berikan kiat atau saran bagaimana budidaya yang baik dan menjaga kelompok agar tetap eksis,” kata Hari dari BSI. Untuk pengembangan lebih jauh, perusahaan PT BSI berharap ada uji laboratorium terhadap pupuk yang mereka hasilkan untuk mengetahui kandungan nutrisinya sehingga produk bisa dipasarkan menjangkau wilayah yang lebih luas.Baca Lainnya :
Hal ini sesuai dengan harapan Sujiono bersama kelompoknya, “Dan Kami ingin pupuk organik bisa kami jual sampai ke luar daerah,” ucapnya. (bay)