Jumat, 22 Nov 2024
MENU
HUT Ke-79 RI

Agar Jaranan Tidak Tergilas Zaman

Teriknya matahari di siang hari tak menyurutkan semangat para seniman Jaranan untuk berlatih. Nampaknya kecintaan para pelaku seni tradisional tersebut kian mendarah daging.

Liyak-liyuk tubuh mereka menggambarkan kebanggaannya terhadap seni turun temurun dari nenek moyang tersebut. Hingga tetesan peluhnya tidak mengganggu kekompakan mereka untuk tetap mengiringi musik Gamelan Jawa yang nyaring dan merdu itu.

Zaman terus berganti, kian modern. Sudah jamak kita saksikan sejumlah tradisi menghilang di lingkungan aslinya tersebab perubahan zaman. Namun, di Banyuwangi, khususnya Banyuwangi Selatan, seni Jaranan tradisional masih digemari, bahkan oleh anak-anak. Penghargaan atas situasi menggembirakan ini antara lain bisa disematkan pada penggiat seni tradisional ini yang ada di Desa Kandangan, Kecamatan Pesanggaran.

“Di Desa Kandangan ini sangat banyak penggiat seni jaranan tradisional. Mayoritas penduduknya adalah penari jaranan,” kata Suwarso, Kepala SMP PGRI 3 Kandangan. Yang ia maksud dengan mayoritas adalah mulai anak kecil, remaja, hingga orang dewasa ikut berperan.


Baca Lainnya :

Pasangan Harianto dan Setyaningsih bisa disebut yang memiliki peran besar. Sang suami memiliki grup jaranan dan membuat sendiri alat musik pengiringnya, sementara sang istri yang merancang dan membuat kostum yang dipakai pemain mereka. Selain grup yang dimiliki Harianto, ada satu lagi grup jaranan di Desa Kandangan. Di grup jaranan milik Harianto, yang menjadi anggota tak hanya warga Desa Kandangan tetapi juga warga Desa Sumberagung dan desa tetangga lainnya.

Pendiri Setyo Budoyo, Haryanto.

Harianto, 69 tahun, mulai mendirikan grupnya pada 1975. Awalnya berupa kelompok seni Campur Sari sampai 1981, yang kemudian vakum selama tujuh tahun lalu berganti menjadi kesenian Janger pada 1988, hingga tahun 2002. Setelah itu, kelompok ini berganti menjadi kesenian Jaranan Tradisional ini hingga sekarang, dengan nama Jaranan Setyo Budoyo.

Kecintaan Harianto-Setyaningsih pada budaya tradisional tak bisa dilepaskan dari latar belakang mereka yang berasal dari keluarga penggiat seni tradisional. Agar kecintaan yang sama terhadap seni tradisi ini tidak berhenti, keduanya tak kenal lelah mengenalkan dan mengajarkan seni tradisional kepada anak-anak, remaja, dan warga dewasa. Selain belajar menari, di tempat Harianto, para anggota ini juga berlatih memainkan alat musik tradisional. Saat ini, anggota yang paling muda masih duduk di kelas 2 SD.

Dengan masih banyaknya generasi muda yang antusias dengan seni jaranan, kita bisa berharap bahwa seni tradisional ini tidak tergilas zaman. (tiw)