MENJELANG Ramadan, masyarakat yang ada di desa-desa, khususnya di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, mengisinya dengan berbagai kegiatan. Salah satu kegiatan yang sudah berlangsung turun-temurun adalah tradisi punggahan.
Menurut Ustaz Lukman Wahyudin, punggahan berasal dari bahasa Jawa munggah yang artinya naik. Kata munggah itu ditujukan untuk menyambut masuknya bulan Ramadan. "Penyebutan ini bertujuan untuk memuliakan bulan Ramadan," Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Kecamatan Pesanggaran ini menjelaskan kepada sedulur.co, Sabtu, 10 April 2021.
Baca juga: Kena Gendam, Perhiasan Wanita Ini Raib
Masyarakat biasanya mengadakan punggahan dengan cara berbagi makanan kepada tetangga. Pelaksanaannya dua hari atau sehari menjelang Ramadan. Di tempat lain di Banyuwangi, ada juga yang sudah melaksanakan seminggu sebelum Ramadan.
Baca Lainnya :
Tidak ada aturan khusus mengenai apa menu makanan yang diberikan. Yang penting, makanan tersebut sesuai dengan nilai kepantasan masyarakat setempat.
Meskipun secara tiap tahun mengadakan punggahan, alumni pondok pesantren Darussalam Blokagung, Tegalsari ini mengaku tidak tahu pasti mulai kapan tradisi tersebut ada. Belum ada buku maupun kitab yang mencatat peristiwa itu. Namun, dia menduga tradisi ini sudah ada semenjak Islam masuk ke Indonesia.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Menurut pengamatan ustaz yang juga koordinator kecamatan Alumni Asuhan Darussalam Bloakagung (Al-Adab) ini, tradisi punggahan mengalami beberapa pergesaran dalam pelaksanaannya. Pada tahun 70-an, tradisi ini diperingati dengan cara mengundang tetangga untuk berdoa bersama di rumah-rumah warga secara bergantian.
Sepulang acara, semua undangan membawa nasi berkat dari tuan rumah. Menurut Lukman, selain genduren atau kenduri, acara ini juga menjadi ajang silahturrahmi.
Baca juga: Sejarah Tahun Baru Saka dan Memaknai Nyepi
Namun, tradisi tersebut mulai bergeser pada tahun 90-an. Warga yang biasanya memenuhi undangan tetangga dari rumah ke rumah, mengubahnya dengan memilih salah satu rumah warga menjadi tempat berlangsungnya acara doa bersama.
Pergeseran ini bertujuan agar tidak banyak makanan yang mubazir. Karena pada tahun-tahun itu masyarakat sudah mulai makmur. "Sudah murah pangan," ungkap ustaz Lukman.
Selanjutnya, terjadi lagi pergeseran sekitar tahun 2000-an. Masyarakat mengadakan punggahan dengan cara berkumpul di musala atau masjid. Dalam pelaksanaannya, mereka membawa nasi lengkap dengan lauk pauknya lalu berdoa bersama di masjid atau musala.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Bahkan, masih menurut ustaz 50 tahun ini, pada satu dekade terakhir, ada penambahan. Selain tradisi genduren, masyarakat juga ater-ater (mengantarkan makanan) kepada sanak keluarga ataupun tetangga.
Tradisi ini biasanya dilakukan oleh masyarakat yang tergolong menengah ke atas. "Saat ini malah ada yang membagikan berupa bahan-bahan yang masih mentah, seperti beras, gula, mi, dan lain-lain," katanya.
Baca juga: Panen Padi dan Para Wanita yang Ngasak
Meskipun pelaksanaannya sudah bertransformasi berkali-kali, pada kenyataannya, masih ada saja sekelompok masyarakat yang mengadakan punggahan dengan cara lama. Hal itu tergantung pada kesepakatan tidak tertulis masyarakat setempat.
Penetapan awal Ramadan masih menunggu hasil sidang isbat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama bersama perwakilan ormas Islam yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, salah satu ormas Islam, Muhammadiyah, sudah memastikan awal Ramadan jatuh pada tanggal 13 April 2021.
Selain punggahan, menjelang Ramadan biasanya menjadi kesempatan untuk berziarah ke makam keluarga. Tradisi ini biasanya dilakukan sehari menjelang puasa. (ala)