Sedulur, Banyuwangi - Pagi hari di studionya, Inamah, berdiri di depan sebidang kanvas. Tangannya sedang memegang sebuah kuas dan memainkannya di atas kanvas itu. Gerakan-gerakannya yang pelan tetapi teratur seperti mengikuti suatu pola tertentu. Dari goresan kuas Inamah itu muncul garis-garis tegas tetapi lembut. Perlahan tapi pasti, garis-garis itu membentuk gambar sosok perempuan yang damai. Inamah bukan pelukis semenjana di Banyuwangi. Ia dikenal sebagai pelukis yang kuat dalam warna-warna alam dan ekspresi figuratif. Selamet Sugiyono, pelukis senior yang pernah menjadi Ketua Perupa Banyuwangi, menyebutnya sebagai seniman yang sangat konsisten dan mencintai profesinya. Lukisan-lukisan dengan genre naif dekoratif yang dia ciptakan mencerminkan ketenangan sekaligus kompleksitas kehidupan perempuan dan keluarga. Salah satu karyanya bisa dilihat tergantung anggun di pendopo Kabupaten Banyuwangi. Inamah mengaku belajar melukis sejak SMA (lulus 1995). Waktu itu, karena keterbatasan modal, ibu dua anak tersebut melukis di atas media apa saja: kertas rokok, buku bekas, dll. Beruntung baginya, ada seorang ibu baik hati yang mengajaknya membuat dekorasi pengantin sehingga dia bisa memperoleh uang dari sana. Di samping itu, Inamah terus mengembangkan bakat melukisnya. Dia belajar dari siapa saja, melukis di mana saja, dan mengikuti pameran-pameran. Pengalaman itu berhasil memupuk bakatnya sebagai pelukis dan mentalnya sebagai manusia. Pada suatu waktu, Inamah kemudian menikah dengan Ahyar yang juga seorang pelukis. Sebagai seniman, dia merasa Ahyar sebagai orang yang tepat menjadi pasangan hidupnya. Menurutnya, kesamaan profesi ini membuat mereka bisa memahami betul kebutuhan ruang pribadi dan dorongan untuk berkreasi. Mereka berdua adalah rekan kerja, orang tua, dan juga kritikus seni bagi satu sama lain. "Memiliki suami sesama pelukis itu menyenangkan sekaligus menantang," katanya. "Kami sering berdiskusi tentang teknik, pameran, atau bahkan hanya soal pilihan warna. Tapi, saat kami sudah di dapur atau mendampingi anak-anak belajar, kami bukan lagi dua seniman." Kini Inamah sudah 48 tahun. Di usianya kini, Sugiyono menilai karyanya terlihat semakin matang, tidak hanya dari segi teknik, tetapi juga kedalaman makna. Untuk mewujudkan karya-karyanya, Inamah mengaku tidak perlu pergi jauh mencari inspirasi. Subjek lukisannya seringkali adalah momen sehari-hari di rumah, bias cahaya di dapur, atau potret sosial yang sedang fokus berkarya. Tahun 2023 menjadi sangat berkesan baginya karena dia memperoleh apresiasi dari Anugerah Perempuan Indonesia IX di Jakarta. Dia berangkat dengan bangga mewakili perempuan dan perupa Banyuwangi. Meskipun dianggap sebagai seniman yang berprestasi, Inamah kini hanya bisa tinggal di sebuah gedung kosong milik pemerintah, di salah satu sudut kota Banyuwangi. Bagian dalam bangunan tersebut adalah ruangan tanpa sekat. Terbuka begitu saja. Yang membuatnya disebut gedung adalah dinding-dinding di keempat sisi bangunan. Warna cat dinding tersebut terlihat kusam. Agaknya sudah cukup lama tidak dicat. Lantainya adalah tegel usang nan berdebu. Di dinding itu Inamah menggantung lukisan-lukisannya. Jumlahnya puluhan dalam berbagai ukuran. Kondisi langit-langit gedung itu juga tidak lebih baik. Lumut tumbuh di mana-mana. Bahkan, tepat di atas Inamah sedang melukis, selembar plafon telah terlepas dari penampangnya. Gedung tersebut lebih berfungsi sebagai galeri, tempat dia berkarya atau sekadar menerima tamu. Pengelola gedung melarang mereka tidur di sana, apalagi memasak. Untuk kebutuhan tersebut, Ahyar membuat ruangan tersendiri dari terpal di belakang gedung. Hari sudah beranjak siang ketika Inamah menurunkan kuasnya lalu menaruhnya di atas kursi kayu kecil. Ia kemudian bergegas ke dapur menjumpai kompornya. Dengan begitu, ia memulai aktivitas lain yang juga sangat dia gemari: memasak. Beberapa saat kemudian, aroma cat minyak yang tersisa di galeri segera bercampur dengan wangi tumisan bumbu. “Hari ini, aku ingin masak kari,” katanya setengah memekik. Baginya, memasak bukan sekadar mengisi perut, tetapi menjadi ritual yang menenangkan setelah berjam-jam berkutat dengan konsentrasi tinggi di studio. "Melukis dan memasak adalah dua hal yang sama," ujarnya. "Keduanya membutuhkan intuisi, komposisi, dan cinta. Jika melukis adalah cara saya menuangkan emosi paling dalam, memasak adalah cara saya memberi cinta paling nyata pada keluarga." Hasil masakannya berupa makanan rumahan yang jamak dijumpai di keluarga Banyuwangi. Meskipun demikian, dia bangga karena keluarganya selalu menganggapnya sebagai perwujudan yang luar biasa. Ahyar memujinya sebagai sesuatu yang memanjakan lidah. Kelezatan yang otentik adalah ciri khasnya. "Lukisanmu abadi di dinding, tapi masakanmu hanya bertahan 5 menit di meja makan karena terlalu enak," tuturnya menirukan pujian Ahyar. Pada pagi lainnya ketika tidak melukis, Inamah akan berjualan pelas di depan gedung itu. Dengan begitu, kehidupan keluarganya bisa terus berdenyut dan melaju. (sdl)Baca Lainnya :
