Sedulur, Pesanggaran - Warga Rajegwesi, Sarongan, Pesanggaran, Banyuwangi menggelar baritan di perempatan lingkungan RT 02 dan 03, Senin, 8 Juli 2024.
Baritan adalah kenduri yang biasanya berlangsung di area terbuka, umumnya pertigaan atau perempatan jalan. Kegiatan ini sudah menjadi tradisi masyarakat setiap menjelang masuk bulan Muharam/Sura.
Seperti halnya warga lingkungan Rajegwesi. Sore itu, mereka membawa takir (nasi dan lauknya dengan wadah daun pisang) dari rumah masing-masing menuju perempatan jalan. Area perempatan sudah tertutup tikar/terpal sebagai alas.
Kemudian, mereka mengumpulkan takir-takir tersebut di salah satu sisi tikar. Anak-anak segera berebut tempat duduk di sekitar kumpulan takir. Para ibu berusaha menenangkan anak-anak itu sementara para bapak mengambil tempat di sisi lain.
Baca Lainnya :
Ketika para warga sudah berkumpul dan mulai tenang, acara baritan pun dimulai. Suasana berubah hening ketika tokoh agama setempat mulai membacakan doa-doa.
Dalam kesempatan tersebut, sesepuh adat Rajegwesi, Sutopo, menjelaskan mengenai filosofi makna takir. Dalam sebuah sajian takir memiliki makna sendiri-sendiri, misalnya sambal goreng melambangkan kebersamaan karena dalam sambal goreng tersebut banyak campuran, seperti kentang, tempe, dan tahu.
Sementara itu, telur dan ayam melambangkan kerja keras karena pada zaman dahulu untuk mendapatkan telur ataupun daging sangat susah, membutuhkan usaha lebih untuk mendapatkannya.
"Jadi, apa yang ada di dalam takir tersebut merupakan perlambang dari kehidupan kita itu sendiri," ucapnya.
Sutopo menambahkan, maksud dari baritan adalah memohon atau doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan keselamatan dunia akhirat dan dijauhkan dari bala, memohon keselamatan dan keberkahan untuk seluruh warga Rajegwesi.
"Untuk prosesi baritan ada doa akhir tahun dan awal tahun serta ditutup dengan ruwatan," kata Sutopo.
Adanya baritan karena datangnya berbagai macam bencana pada zaman dahulu. Warga kemudian mengadakan selamatan untuk memohon perlindungan kepada Tuhan.
"Tetapi zaman dahulu belum banyak masjid/musala yang didirikan sehingga baritan diadakan di jalan/perempatan dan diteruskan hingga saat ini," ucapnya.
Masih Sutopo, kata baritan sendiri berasal dari kata mbubarake peri lan setan (membubarkan peri dan setan).
"Dalam acara baritan ini, warga tidak boleh makan makanan yang dibawanya sendiri. Hal ini dimaksudkan agar bisa saling berbagi dan tidak ada perbedaan kelas di antara masyarakat desa tersebut,” katanya.
Akhirnya, Sutopo berharap kegiatan baritan oleh warga Rajegwesi ini tetap lestari pada masa yang akan datang. (gil)