MASYARAKAT sudah tidak banyak yang memakai peralatan dari bambu. Barang-barang seperti bakul, nyiru, cikrak, caping, jangkat, dan lain-lain sudah banyak digantikan oleh peralatan berbahan plastik atau bahan-bahan lainnya. Perajin bambu pun menjadi pekerjaan yang tidak menjanjikan.
Kenyataan ini tidak membuat Mbah Slamet, 75 tahun, dan Mbah Ranti, 69 tahun, berhenti membuatnya meskipun penjualannya tidak seramai 10 tahun lalu. Warga Kampung Baru, Krajan, Sarongan, Pesanggaran telah 20 tahun lebih menjalani pekerjaannya ini.
Baca juga: Membuat Arang dari Tempurung Kelapa
Mbah Slamet sedang membuat sebuah kolong bambu ketika Sedulur mendatanginya. Kolong tersebut akan digunakannya untuk membuat nyiru. Usia yang tidak lagi muda seperti tidak memengaruhi kecekatannya mengikat bilah-bilah bambu, membentuknya menjadi lingkaran-lingkaran.
Baca Lainnya :
Sementara itu, di dalam rumah, istrinya sedang duduk bersimpuh sambil menganyam. Tumpukan bilah-bilah bambu tipis tergeletak di kanan kirinya. Jari-jemarinya memainkan bilah-bilah bambu tersebut, merangkainya menjadi lembar-lembar anyaman. Dua bakul setengah jadi ada di depannya.
Waktu kecil, Mbah Slamet mengaku belajar menganyam bambu dari ayahnya. Namun, dia baru benar-benar menjadi perajin bambu setelah menikah. "Waktu muda saya pernah merantau ke Malaysia selama 10 tahun," katanya.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Menurutnya, membuat anyaman bambu membutuhkan ketelatenan karena ada beberapa tahap proses yang harus dilalui. Pertama, memilih dan memotong pohon bambu. Mbah Slamet memotong bambu di kebun miliknya sendiri. "Harus dipilih bambu yang baik dan benar-benar tua," tuturnya.
Langkah selanjutnya, memotong-motong bambu sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Bambu yang sudah dipotong-potong kemudian dibelah menjadi empat bagian lalu dijemur. Untuk memperoleh bambu yang benar-benar kering, bambu dijemur selama tiga sampai empat hari.
Baca juga: Manfaatkan Tongkol Jagung untuk Budi Daya Jamur
Setelah itu, belahan bambu dibilah tipis-tipis lalu direndam dengan air garam. Menurut Mbah Slamet agar awet. Bilah-bilah bambu yang telah direndam air garam kemudian dianyam menjadi caping, nyiru, bakul, dan lain-lain. Dengan semua bahan yang sudah disiapkan, dia mengaku bisa menyelesaikan tiga sampai empat barang sehari.
Setelah jadi, Mbah Slamet akan menitipkan barang-barangnya di toko-toko yang ada di Sarongan. Dia juga menjualnya sendiri setiap hari Minggu di pasar Sarongan.
Mbah Slamet menjual barang-barang buatannya dengan harga cukup murah. Satu jangkat jumbo dia jual dengan harga Rp20.000 saja. Sedangkan nyiru dia jual dengan harga Rp17.000. Meskipun dijual dengan harga murah, barang-barang itu tidak selalu laku terjual.
Namun, dia tetap bergeming, melanjutkan usahanya membuat dan menjual peralatan dari bambu. "Mungkin tinggal saya sendiri yang masih membuatnya," tuturnya.
Untuk kebutuhan sehari-hari, Mbah Slamet tidak hanya menggantungkan pada hasil menjual barang-barang dari bambu. Dia juga masih menggarap sawah miliknya. "Kalau dari tompo [jangkat] saja mana cukup," ujarnya.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Dia yakin barang-barang buatannya tidak kalah dengan barang-barang keluaran pabrik. Dia tidak ingin kerajinan bambu habis tergerus zaman. "Semoga masyarakat lebih mencintai produk buatan asli Indonesia dan lebih menghargai lingkungan," katanya berharap. (gil)