Sarongan – Bagaimana jika kita tidak mempunyai lahan yang luas untuk bercocok tanam?
Novia Isma, 25 tahun, wanita asal Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, memanfaatkan lahan terbatas di rumahnya untuk menanam sayur-mayur.
“Saya memakai teknik hidroponik,” kata Novia. Hidroponik adalah cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah, menggunakan medium air dengan menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi tanaman.
Keunggulannya, lanjut Novi, hidroponik membutuhkan air lebih sedikit dibanding dengan bercocok tanam di tanah seperti yang umum dilakukan masyarakat. “Kita tidak memerlukan tempat yang luas. Bisa di atas atap rumah atau di teras rumah. Asalkan terkena matahari langsung,” katanya.
Baca Lainnya :
Selain itu, dengan teknik hidroponik, petani bisa menghemat energi karena tidak memerlukan kegiatan mencangkul lahan. Cukup menyediakan pipa-pipa untuk media tanam.
Saat Sedulur mendatanginya, Novia menceritakan bagaimana asal mula bisa sukses bercocok tanam dengan media hidroponik.
Saat masih kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dian Husada Mojokerto, di sebelah indekosnya ada tetangga yang menanam dengan teknik hidroponik. Dengan rasa penasaran, Novia mendatangi tetangga tersebut dan mulai mempelajarinya.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Setelah menyelesaikan pendidikannya pada 2018, Novia pulang ke Sarongan. Pengalaman di Mojokerto menumbuhkan keinginannya untuk bertani. “Tapi saya tidak memiliki lahan,” katanya.
Selanjutnya, Novia terus mendalami perihal tanaman hidroponik. Dia menambah pengetahuannya dari buku dan internet. Hingga setahun yang lalu, setelah merasa cukup belajar, staf Desa Sarongan ini memberanikan diri menanam kangkung cabut.
Percobaan pertamanya berhasil. Kangkung tersebut tumbuh dengan baik. Novia girang, tapi belum merasa puas. Kemudian gadis ini menanam sayuran jenis lain, seperti sawi, selada air, dan pakcoy. Percobaan kedua ini pun sukses.
Setelah uji coba kedua, Novia mengubah pekarangan rumah berukuran 18 m2 menjadi lahan pertanian dengan teknik hidroponik. Dia menawarkan hasil panennya kepada warga dan tukang sayur keliling. “Mereka datang ke sini,” ujarnya.
Dari hari ke hari, pelanggan semakin banyak. Kini, Novia bisa memanen 4-5 kg sayuran setiap tiga hari. Dia menjual sayurannya Rp2.000 per ikat.
Novia menambahkan, wajar petani hidroponik menghadapi kendala, terutama, ketika listrik mati. Teknik hidroponik memerlukan listrik untuk menyalakan mesin pemompa air. Jika listrik mati, Novia menyirami tanamannya setiap 1 jam. “Jika lebih dari 1 jam, tanaman bisa kering dan mati,” kata Novia. (gil)