Kamis, 31 Okt 2024
MENU
HUT Ke-79 RI

Ibu Seminah, Merumput Demi Menjemput Mimpi Anaknya

SEBAKUL nasi dan beberapa iris tempe goreng sudah siap di atas meja. Kemudian, Ibu Seminah memanggil kedua anaknya, Dewa Saputra dan Wahyu Saputra, untuk sarapan. Ia selalu memastikan anak-anaknya telah kenyang ketika dia berangkat kerja.

Sinar matahari pagi menerobos dinding bambu rumah Seminah sehingga membentuk bulatan-bulatan cahaya di dalam ruangan sepuluh meter persegi itu. Sambil menunggu anaknya sarapan, wanita berusia 50 tahun itu menyiapkan sabit, batu asahan, dan tali. Setelah itu, ia duduk di atas kursi kayu tua sambil memandangi anak-anaknya tenang.

Baca juga: Pencari Pasir: Sumiarsih Pantang Risih

Wanita yang tinggal di Rajegwesi, Sarongan, Pesanggaran ini merawat Dewa dan Wahyu sendirian. Menyekolahkan mereka berdua. Dewa saat ini duduk di bangku kelas satu SMP, sedangkan Wahyu masih kelas dua SD.


Baca Lainnya :

ibu seminah merumput
Ibu Seminah sedang merumput di pinggiran hutan.

"Saya ini orang bodoh. Bahkan untuk membaca dan menulis saya pun tidak bisa. Tapi, anak saya jangan sampai seperti saya. Biar saya saja yang bodoh. Anak saya jangan," ujarnya.

Suaminya telah meninggal dunia dua tahun lalu akibat serangan jantung. Ia tidak meninggalkan harta benda yang banyak untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Sehingga, ia harus membanting tulang sendirian.

Lanjut ke halaman berikutnya...

Setelah kedua anaknya selesai sarapan, Seminah pun berangkat merumput untuk pakan sapi. Pekerjaan inilah yang ia lakoni selama ini. Setiap hari. Merumput dan merawat sapi.

Ada dua ekor sapi yang ia pelihara saat ini. Sapi-sapi tersebut milik tetangganya yang ia rawat dengan sistem bagi hasil atau nggaduh dalam istilah warga setempat.

Baca juga: Menembus Hutan Demi Pendidikan Anak Pedalaman

"Walaupun sakit saya tetap mencari rumput. Kalau saya diam di rumah siapa yang mencari pakan ternak? Siapa yang memasakkan anak-anak saya? Uang jajannya dari mana? Mau tidak mau saya harus bangkit," tutur Seminah.

Di pinggiran hutan yang sepi, Ibu Seminah mengayunkan sabitnya dengan gapah. Memotong rerumputan hijau yang tumbuh subur di area tersebut. Dan mengumpulkannya sedikit demi sedikit lalu menumpuknya dengan rapi. 

Setelah tumpukan dirasa cukup, dia pun mengikatnya lalu memanggulnya pulang. Meskipun lelah dan payah, ia tidak hiraukan. Waktu begitu berharga baginya.

Lanjut ke halaman berikutnya...

Sesampainya di rumah, setelah menaruh rumput, Seminah bersegera membersihkan diri. Waktu setelah merumput adalah saat baginya untuk berjualan ketan. Mencari penghasilan tambahan. Berkeliling di seputaran Rajegwesi. Meskipun hasilnya sedikit, baginya tidaklah mengapa. "Alhamdulillah, rezeki terus ada," katanya.

Namun, apa mau dikata, sejak pagebluk melanda, Ibu Seminah tidak lagi mampu berjualan. Harga bahan terus melambung. Terlalu mahal untuk ia tebus. Dia juga kesulitan menjualnya. Kalau dipaksakan, menurutnya, bukan keuntungan yang ia dapat tapi malah kebuntungan.

Baca juga: Bermodal Tekad, Mardiyah Antar Anak-anaknya Sukses

Meskipun demikian, dia terus bersyukur karena banyak tetangga berbaik hati. "Terkadang, pada saat saya sakit, mereka memberi lauk untuk saya dan anak-anak saya," ungkapnya.

Ibu Seminah juga berbangga hati karena anak-anaknya bisa memahami keadaannya. Si sulung selalu membantunya membersihkan kandang sapi.

"Saya sangat bangga punya ibu yang selalu berjuang demi kami. Kasihan sebenarnya," kata Dewa. (gil)