SEBAKUL nasi dan beberapa iris tempe goreng sudah siap di atas meja. Kemudian, Ibu Seminah memanggil kedua anaknya, Dewa Saputra dan Wahyu Saputra, untuk sarapan. Ia selalu memastikan anak-anaknya telah kenyang ketika dia berangkat kerja.
Sinar matahari pagi menerobos dinding bambu rumah Seminah sehingga membentuk bulatan-bulatan cahaya di dalam ruangan sepuluh meter persegi itu. Sambil menunggu anaknya sarapan, wanita berusia 50 tahun itu menyiapkan sabit, batu asahan, dan tali. Setelah itu, ia duduk di atas kursi kayu tua sambil memandangi anak-anaknya tenang.
Baca juga: Pencari Pasir: Sumiarsih Pantang Risih
Wanita yang tinggal di Rajegwesi, Sarongan, Pesanggaran ini merawat Dewa dan Wahyu sendirian. Menyekolahkan mereka berdua. Dewa saat ini duduk di bangku kelas satu SMP, sedangkan Wahyu masih kelas dua SD.

“Saya ini orang bodoh. Bahkan untuk membaca dan menulis saya pun tidak bisa. Tapi, anak saya jangan sampai seperti saya. Biar saya saja yang bodoh. Anak saya jangan,” ujarnya.
Suaminya telah meninggal dunia dua tahun lalu akibat serangan jantung. Ia tidak meninggalkan harta benda yang banyak untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Sehingga, ia harus membanting tulang sendirian.
Lanjut ke halaman berikutnya…