HARI sudah berganti malam ketika Rini menuangkan adonan bakal kue terang bulan ke atas wajan panas dengan hati-hati, meratakannya hingga membentuk lingkaran seukuran wajan. Bau harum merebak. Lalu, dia menutup wajan tersebut.
Sementara di wajan berbentuk lempengan, nangkring di atas gerobak, dua potong martabak telur sudah hampir matang. Beberapa pembeli berdiri menunggu pesanannya.
Baca juga: Gula Jawa Masih Eksis di Sarongan
Di sebelah barat gerobak tempatnya berjualan, sebuah patung--warga menyebutnya patung pahlawan--berdiri tegak, persis di tengah-tengah sebuah pertigaan. Jalan di depan gerobak terlihat ramai. Patung ini setiap hari menjadi saksi usahanya mulai pukul lima sore hingga sepuluh malam.
Baca Lainnya :
Rini Puspita Sari, 30 tahun, memulai usaha jualan martabak dan terang bulan bersama suaminya, Suhardi, 37 tahun, pada 2014. Suaminya itu sebelumnya adalah seorang mandor kebun yang kehilangan pekerjaannya. "Saya masih ingat betul, waktu itu, anak saya masih berumur empat bulan," kata Suhardi.
Setelah tak lagi menjadi mandor kebun, Suhardi harus bekerja seadanya. "Yang penting halal," katanya. Sampai suatu hari, tahun 2011, dia berjumpa dengan Imam, seorang penjual martabak asal Bangil, yang berjualan di Siliragung. Lelaki ini mengizinkan Suhardi membantunya berjualan. Dia juga bersedia mengajarinya membuat martabak dan terang bulan.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Aktivitasnya membantu Imam berjualan membuatnya berangsur-angsur melupakan kesedihannya karena kehilangan pekerjaan. Meskipun upah yang dia terima tidak banyak, dia bisa mengaturnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya.
Dalam masa dua tahun Suhardi ikut Imam, dia merasa sudah mampu membuat martabak dan terang bulan sendiri. Suatu hari, dia memberanikan diri minta izin kepada Imam untuk berjualan sendiri. Ternyata, Imam malah mendukungnya. Bahkan, dia membantu menyiapkan semua peralatan untuk berjualan.
Baca juga: Asa Sofyan Membuat Pupuk dan Pertanian Organik
Akan tetapi, Suhardi harus mengganti biaya pembelian peralatan tersebut dengan cara mengangsur: Rp10.000 setiap habis jualan. "Bersyukur sekali ada yang membantu," katanya.
Dengan tekad bulat, ayah satu anak ini mulai berjualan dan menamai produk jualannya "Martabak Sasa". Menurutnya, Sasa adalah nama panggilan anaknya, Erissa Takwin Nur Kulbi.
Baca juga: Tangan-tangan Terampil Hasilkan Tas Belanja yang Kuat
Sedikit demi sedikit, perjuangan Suhardi dan istrinya mulai menunjukkan hasil. Perekonomian keluarganya mulai membaik. Ternyata, martabak buatannya banyak disukai orang. Sambil menunggu kelahiran anaknya yang kedua, istrinya, Rini, selalu setia membantu di tempat berjualan.
Bagi yang ingin mencoba kenikmatan martabak buatan Suhardi, bisa langsung datang ke tempatnya berjualan di Siliragung. Lokasinya mudah ditemukan, ditandai dengan tulisan "Martabak Sasa" di bagian kaca gerobaknya. (bay)