MALAM terasa senyap. Rumah-rumah warga sudah gelap. Angin malas berhembus. Ombak laut bergemuruh seperti biasa, bahkan suaranya terdengar lebih nyaring. Suroso masih terjaga. Waktu sudah lewat tengah malam. Dia duduk di kursi ruang tamu, dalam keremangan. Sinar lampu cublik tak mampu menerangi keseluruhan ruang itu. “Entah mengapa malam itu aku gelisah,” ujarnya.
Di luar rumah, burung Bence—burung yang dipercaya mengabarkan akan datangnya bencana—berkicau tak henti-henti, bersahut-sahutan. Istri Suroso bangun. Lalu, ayahnya juga ikut terjaga, tergopoh mendekatinya.
Baca juga: Masjid Ringinagung Pernah Ambruk Diterjang Badai
“So, coba kamu lihat burung-burung Bence itu terbang ke arah mana,” kata ayah Suroso, “kalau menyeberang desa, itu tanda akan terjadi bencana di desa kita.”
Demi mendengar kata-kata ayahnya, Suroso pun keluar. Ada perasaan khawatir berdesir. Dan benar. Dia melihat sendiri burung-burung itu melintasi batas kampungnya. Pikirannya semakin gelisah. Dia pun bergegas, bermaksud menyampaikan apa yang dilihatnya.

Akan tetapi, tanpa diduga, suara bergemuruh dari arah laut tiba-tiba datang. Tanpa sempat berpikir itu apa, tubuh Suroso terhempas diterjang derasnya air. Hanya itu yang mampu dia ingat. Dia tak sadarkan diri.
Saat matahari mulai menyingsing, Suroso sadarkan diri. Ia menemukan dirinya terasa lemah, berlumuran pasir. Baju yang dia pakai masih basah dan terkoyak. Sayup-sayup dia mendengar suara tangisan dan jeritan. Matanya menatap nanar ke sekelilingnya, yang dilihatnya adalah bangunan-bangunan yang roboh; puing-puing berserakan. Air menggenangi cekungan-cekungan.
Lanjut ke halaman berikutnya…