Kamis, 21 Nov 2024
MENU
HUT Ke-79 RI

Bahaya Limbah Merkuri di Depan Mata

Sedulur - Merkuri atau air raksa sangat disukai penambang tradisional karena bisa menangkap serbuk emas dalam lumpur atau tanah yang mereka olah. Artinya, dengan upaya yang relatif mudah, uang besar bakal berada dalam genggaman. Hanya saja, ada bahaya besar yang mengintai dengan pemakaian dan pembuangan limbah merkuri ini.

Pasangan Tatan dan Suriyati di Mandailing Natal, Sumatra Utara, mendapatkan kesedihan tak terperi akhir 2018 tahun lalu ketika bayi perempuan mereka yang lahir dengan operasi Caesar ternyata hanya memiliki satu mata, mulut, dan tidak mempunyai hidung. Organ yang lain lengkap, tapi bayi itu juga sangat lemah denyut jantungnya. Dokter memperkirakan usia bayi paling lama tiga hari, dan terbukti bayi yang malang itu hanya bertahan delapan jam. Dokter tak menampik bahwa fakta pekerjaan Tatan, sang ayah, sebagai penambang emas yang membuatnya terpapar merkuri bisa berpengaruh terhadap kesehatan janin.  

Dunia sebetulnya sudah mendapat pelajaran mahal mengenai bahaya merkuri setelah meledaknya Tragedi Minamata di Jepang pada 1958. Minamata adalah kota kecil yang menghadap laut di Prefektur Kumamoto.  Seperti lazimnya orang Jepang, warga Minamata sangat gemar makan ikan. Tapi, makanan yang semestinya menyehatkan itu justru menjadi petaka karena ikan-ikan di sana sudah teracuni limbah merkuri, logam berat yang sangat berbahaya untuk dikonsumsi.

Tanda-tanda buruk bagi warga Minamata sudah terlihat pada 1949 ketika produksi ikan menurun. Lalu, pada tahun-tahun berikutnya, berulangkali ditemui kasus kejang-kejang, kelumpuhan, kegilaan, yang  diakhiri dengan kematian. Tak kurang pula bayi yang terlahir dengan cacat fisik seperti tak punya kaki dan tangan atau hanya bermata satu. Total korban mencapai 2.265 orang, dengan 1.784 meninggal dunia. Korban dan keluarga mereka akhirnya mendapatkan ganti rugi.


Baca Lainnya :

Namun, seperti kita tahu, uang sebanyak apa pun tak akan pernah bisa menggantikan kepergian orang-orang tercinta atau rasa pilu ketika melihat keturunan kita yang lahir tak sempurna. Bisakah uang menghibur saat kita tak lagi bisa bicara, terkena kelumpuhan atau bahkan kegilaan?

Sejak  Tragedi Minamata, pemakaian merkuri dalam proses produksi industri berat berangsur-angsur berkurang. Perusahaan tambang profesional sudah bertahun-tahun tidak menggunakan merkuri lagi karena kesadaran akan bahayanya.

Sayangnya, kesadaran untuk tidak memakai merkuri sembarangan ini belum dipahami oleh semua, termasuk di negara kita. Pada  2015, misalnya, di kawasan Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, ditemukan beberapa ekor ternak mati setelah minum air yang tercemar limbah merkuri yang dibuang para penambang emas tanpa izin. Pemerintah setempat bertindak cepat dengan menutup pertambangan ilegal setahun berikutnya. Tapi, sampai tahun ini, penambangan ilegal di sana marak lagi, dan pelakunya masih membuang merkuri.   

Praktek membuang merkuri begitu saja ke tanah atau sungai masih dilakukan hampir semua penambang tanpa izin resmi. Selain di Gunung Botak, penambangan ilegal antara lain marak terjadi di Poboya (Sulawesi Tengah), Bombana (Sulawesi Tenggara), dan Cibeber (Banten).  

Kerugian akibat praktek penambangan ilegal sudah jelas, tidak ada pemasukan pajak dan rusaknya sektor lain seperti pariwisata, misalnya. Dan, yang lebih penting lagi, seperti yang terjadi di Minamata, rusaknya lingkungan selalu berdampak langsung kepada manusia di sekitarnya. Apakah kita akan membiarkan anak-anak kita menjadi korban berikutnya? Tidakkah kita sebaiknya meninggalkan pekerjaan yang membahayakan diri, keluarga, dan lingkungan? Masih banyak kesempatan untuk beroleh penghasilan yang aman dan kemudian berkumpul gembira bersama keluarga. (rds)