Sedulur, Sarongan – Saat Sedulur datang, Supri, 62 tahun, sedang membuat angklung. Dengan telaten dia serut potongan-potongan bambu dengan sebilah pisau menyerupai sabit. Uniknya, tajam pisau tersebut ada di bagian punggungnya.
Sisa-sisa serutan menyerupai tali-tali pendek menumpuk di depannya. Tidak jauh dari tempatnya duduk, stok potongan-potongan bambu yang belum digarap tertumpuk rapi.
Melimpahnya sumber daya alam di Desa Sarongan, dimanfaatkan warga untuk menjalani usaha. Seperti yang ditekuni oleh Supri. Lelaki yang biasa dipanggil Pak Pri ini memanfaatkan bambu dan mengubahnya menjadi alat musik tradisional angklung.
Baca juga: Penjual Bunga di Pasar Silirbaru
Sejak 48 tahun yang lalu, ia mengaku mulai mengenal angklung dari kegemarannya mengikuti sanggar musik tradisional di daerahnya. Kegemaran ini membuat bakat seninya semakin terasah. Dia pun semakin mencintai alat musik bambu yang dibunyikan dengan cara digoyang ini.

Pak Pri tidak hanya belajar mamainkan angklung, sedikit demi sedikit dia juga mempelajari cara membuatnya. “Usia 20 tahun saya sudah bisa menyinkronkan nada,” katanya mengenang masa-masa mudanya.
Awal mulanya, Supri membuatnya untuk dipakai sendiri. Tidak ada pikiran untuk menjualnya karena baginya bermusik adalah untuk kenikmatan batin. Dia menyimpan angklung buatannya dan memainkannya pada saat-saat tertentu untuk menghibur diri.
Lanjut ke halaman berikutnya…