Tangan Lasemi dengan sigap meraih barang dagangan yang sudah terikat sedemikian rupa. Ibu itu memesan tempe kepadanya. Diserahkannya dua potong tempe terbungkus plastik kepada pelanggannya itu.
Punggung tangan warga Dusun Krajan RT03/RW04, Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi ini sesekali menjangkau wajah tuanya, mengusap peluh yang membulir hendak jatuh. Hari sudah menjelang senja, sementara barang-barang dagangannya belum juga habis.
Saya menghampirinya ketika ia kembali menuju sepeda dan keranjang dagangannya. Senyum ramahnya mengembang saat menyambut jabat tangan saya. Kami bersalaman. Sementara ibu pembeli tadi telah menghilang di balik pintu rumahnya.
Sudah bertahun-tahun Lasemi bekerja sendiri memenuhi kebutuhan keluarganya. Suaminya, Boyadi, tidak mampu lagi bekerja. Usia tua memaksanya tinggal di rumah dan mendoakan istrinya yang menggantikan perannya sebagai pencari nafkah.
Pekerjaan Lasemi terbilang biasa saja. Bukan pekerjaan besar yang menghasilkan banyak rupiah. Namun, jelas membutuhkan banyak energi untuk melakukannya.
Setiap hari ia berkeliling kampung menjajakan barang dagangannya yang tidak seberapa, berupa sayur-sayuran, lauk, dan beberapa bumbu dapur. Dia membeli barang-barang jualannya itu di pasar sore Desa Siliragung, kira-kira dua kilometer dari tempat tinggalnya.
Bersepeda, Lasemi keliling kampung menjajakan dagangannya. Ditawarkannya dagangannya kepada ibu-ibu dari rumah ke rumah. Lelah tentu, tapi terus dia jalani rutinitas itu.
“Saya berangkat habis zuhur, keliling sampai menjelang magrib saya pulang,” kata Lasemi.
Meskipun hasilnya berjualan tidak seberapa, Lasemi pantang menyerah. Ia selalu mensyukuri usahanya dan menjalani rutinitasnya dengan penuh keikhlasan.
“Usaha tidak akan membohongi hasil,” selorohnya bijak.
Di tengah kesibukannya, Lasemi masih menyisakan waktu dan energi untuk mengurus rumah. Menyiapkan makanan, beres-beres, dan menyiapkan segala keperluan suaminya yang telah lanjut usia.
Putra tunggalnya, Murwoko, tinggal bersamanya. Ia sudah berkeluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Murwoko membuka bengkel kecil di depan rumah. Namun, alih-alih mengandalkan penghasilan anaknya, Lasemi lebih memilih mencari penghasilan sendiri. Dia tidak ingin merepotkan orang lain meski darah dagingnya sendiri. Baginya, hasil kerja anak bukan haknya.
Lasemi menuturkan kisahnya itu dengan tenang. Tak tersirat penyesalan sedikit pun akan hidup yang dijalaninya. Sebab, baginya, hidup adalah tentang pengabdian dan keikhlasan.
“Yang penting ikhlas,” katanya, “selagi masih kuat berjalan dan mengayuh sepeda, saya juga tak akan berhenti berjualan sayur keliling,” sambungnya.
Banyak warga sekitar dan para pelanggannya yang mengenal baik Lasemi.
“Mbah Lasemi ini orangnya gigih, pekerja keras, pendiam, dan sabar,” ungkap Sugiyati, tetangga sekaligus pelanggan Lasemi mencoba menggambarkan sosok Srikandi ini.
Tak lama mengobrol, sembari beranjak, ia mempersilakan saya mampir ke rumahnya kapan sempat. Saya mengiyakan, sebelum kemudian ia menghilang di perempatan, pulang menuju keluarganya. Menjemput tugas-tugasnya di rumah.
Bagi saya, Lasemi adalah contoh ideal kegigihan, kesederhanaan, pengabdian, dan keikhlasan. Menjadi hebat karena nilai-nilai agung itu dimiliki seorang wanita biasa. Tanpa gelar. Tanpa jabatan. (tiw)