Beranda Cerita Talang Lawas dan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia

Talang Lawas dan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia

0
1446
Talang Lawas Banyuwangi

Tersebutlah seorang insinyur pribumi yang menjadi arsitek andalan Belanda pada 1930-an. Namanya Bambang Sutejo, masyarakat luas lebih mengenalnya sebagai Den Sutejo. Ia dipercaya pemerintah Belanda untuk membangun gedung-gedung dan berbagai jembatan di seluruh nusantara. Konon, Den Sutejo juga sempat menjadi perencana Jembatan Ampera, Sungai Musi, Sumatera Sela-tan, saat pembangunan jembatan itu kembali digagas Walikota Palembang pada 1920-an.

Cerita tentang Den Sutejo itu saya dapat dari Mbah Daryono. Siang itu saya sowan ke rumahnya di Desa Siliragung.

“Den Sutejo itu orangnya tegas. Bangunan yang sudah jadi ia ketuk-ketuk. Kalau komposisi bangunanannya ada yang dikurangi, dia tahu. Bangunannya suruh mbongkar, lalu dibangun lagi,” tutur Mbah Daryono.

Den Sutejo dikenal sebagai orang yang ulet dan teliti. Menurut Mbah Daryono, dialah yang membangun Talang Lawas pada sekitar 1935. Saat itu, ia rela bermalam berhari-hari untuk mengecek dan memastikan tiap inci struktur jembatan dikerjakan dengan benar.

Tak jelas benar, arsitekkah Den Sutejo ini, atau seorang mandor pengawas para pekerja bangunan—bagi saya itu tak begitu penting. Sebab, lebih menarik buat saya menyimak Mbah Daryono mendongeng tentang ma-sa–ma-sa mudanya. Benar tidaknya, biarlah ahli sejarah yang menilai: bukan saya.

Talang Lawas memang memiliki struktur bangunan yang kuat. Kekuatannya pernah diuji oleh banjir bandang besar yang disebut Blabur Dino Senen Legi. Dalam peristiwa itu, menurut Mbah Daryono, tampak ketokohan Den Sutejo yang agaknya bukan manusia biasa.

Waktu itu tahun 1938. Banjir dahsyat bercampur lumpur di Kali Baru menghanyutkan pohon beringin besar yang berasal dari longsoran di daerah Seneposepi. Mbah Daryono yang kala itu melihat pohon beringin besar terbawa arus dan hendak menghantam talang, sontak meneriaki o-rang–orang yang berada di atasnya. Perkiraannya, talang sekaligus jembatan itu pasti hancur dihantam pohon beringin sebesar itu.

Perkiraannya salah. Talang Lawas tetap berdiri kokoh, tapi pohon beringin tersangkut di struktur talang. Giliran orang-orang sekitar bingung bagaimana menghanyutkan pohon beringin itu agar tidak tersangkut di struktur talang yang mengganggu lalu-lintas jalan di atasnya.

Berbagai usaha dilakukan, hasilnya nihil. Kendaraan-kendaraan Belanda juga dikerahkan untuk menghanyutkan beringin, tapi juga tanpa hasil. Akhirnya, Belanda memanggil Den Sutejo untuk mengatasi masalah itu.

Den Sutejo yang baru datang dengan sedan warna putihnya bergegas menuju jembatan. Bersetelan khas topi warna putih, ia hadir bak koboi di film-film. Sesampai di talang, ia lepas pakaiannya dan melemparnya ke arah pohon beringin yang tersangkut. Seketika itu juga, pohon beringin lolos dari jembatan dan hanyut bersama arus banjir bandang.

Orang-orang yang menyaksikan peristiwa ini sontak bertepuk riuh. Mereka terkagum-kagum dengan kehebatan Den Sutejo. Termasuk Mbah Daryono yang kala itu ikut menyaksikan peristiwa tersebut.

“Den Sutejo itu bukan orang biasa. Sepertinya dia punya kelebihan tertentu,” kata Mbah Daryono dengan wajah bersemangat menceritakan peristiwa Blabur Dino Senen Legi.

Talang Lawas yang dibangun oleh Belanda itu digunakan untuk menghubungkan saluran air yang dipisahkan Kali Baru. Kanal-kanal itu selanjutnya digunakan untuk mengairi tanah-tanah pertanian Belanda di daerah Ringinsari. Dengan adanya talang dan kanalkanal itu, Ringinsari yang bukan merupakan wilayah tanah tadah bisa mendapatkan pasokan air.

Pada 1942, Jepang mulai masuk Indonesia dan mulai merebut wilayah-wilayah potensial di tanah air. Gedung-gedung dan bangunan-bangunan yang dikuasai Belanda satu per satu mereka ambil alih. Termasuk Talang Lawas. Saat mereka kalah perang, Belanda kembali datang membonceng Sekutu, mencoba menguasai kembali tanah jajahan. Di antaranya adalah lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang ada di Pesanggaran.

Tahun 1948, pasukan Belanda berduyun-duyun datang dengan tank dan kendaraan tempur mereka, berniat menguasai kembali wilayah-wilayah pertanian di seberang Kali Baru. Rakyat yang tak terima tanahnya dijajah kembali, melakukan perlawanan keras. Kanal yang berada di sebelah timur Talang Lawas mereka jebol demi memutus akses kendaraankendaraan Belanda yang hendak menyeberang. Akibatnya, pasukan Belanda tertahan dan setelah perlawanan sengit masyarakat Pesanggaran, Belanda terpukul mundur.

Sesekali Mbah Daryono terdiam saat menceritakan kisah-kisah haru di masa lalu. Ia mengenang kembali masa-masa sulit di zaman penjajah-an. Usai Agresi 1949 pun, katanya, Negara ini masih menghadapi banyak sekali ujian. Kali itu giliran menghadapi bangsa sendiri yang mencoba merusak NKRI melalui berbagai propaganda licik.

Mbah Daryono mengingat kembali peristiwa G30S. Waktu itu, banyak sekali orang-orang yang Mbah Daryono kenal dituduh sebagai PKI dan dibunuh. Termasuk guru ngajinya. Kisah pilu itu sampai hari ini masih menyisakan kenangan pahit baginya.

Agak terbata-bata, ia mencoba mengurai kembali peristiwa thung-thung pet: malam-malam gulita yang makin mencekam oleh suara kentongan ber-talu–talu dibunyikan. Kode bahwa seluruh penduduk harus mematikan lentera dan penerangan lainnya, guna mempersulit penculikan dan pembunuhan penduduk. Kala itu Mbah Daryono hanya bisa bersembunyi di musala samping rumahnya bersama temanteman ngajinya.

“Sampeyan percaya Pancasila?” tanya Mbah Daryono tiba—tiba kepada saya.

“Percaya Mbah,” jawab saya dengan heran dan bingung, kenapa mendadak ia melontar pertanyaan itu kepada saya.

Mbah Daryono beranjak masuk ke kamarnya dan sejenak kemudian keluar lagi membawa selembar kertas berlaminating. Rupanya, itu adalah ijazahnya semasa SMA.

“Ijazah ini a-da-lah bukti bahwa Indonesia pernah melalui masa-masa sulit untuk mencapai kedaulatan,” jelas Mbah Daryono sambil menunjukkan ijazahnya. Terbaca dua bahasa digunakan dalam penulisan ijazah itu, Bahasa Indonesia dan Belanda. Ijazah keluaran zaman Republik Indonesia Serikat.

“Jika anak-anak bangsa percaya pada Pancasila, harusnya Indonesia ini damai,” ujar Mbah Daryono. Ia tak menjelaskan lebih perinci apa yang dimaksudnya. Mungkin karena sore mendadak tiba.

Saya mengiyakan ujarannya sembari berterima kasih atas kisahnya dan pamit pulang. Iya, Mbah, “harusnya”. Memang di negara ini sudah terlalu banyak “seharusnya”.

TIDAK ADA KOMENTAR

TANGGAPI?

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini